10 Jan 2012

HITAM PUTIH KEHIDUPAN 3| Keluar Dari Asrama


Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian itu dengan Kak Fandi. Aku masih terus berusaha menjaga jarak dengannya. Aku memang tidak bisa mengindar untuk bertemu dengannya karena kami tinggal di satu asrama dan lokasi gedung sekolah yang SMP-ku dengan gedung sekolah SMA Kak Fandi masih di satu komplek bangunan tetapi aku tetap berupaya untuk tidak berada dekat dengannya, tidak berkomunikasi atau hanya sekedar berpapasan.

Kejadian itu seolah memberikan efek traumatic yang sangat besar terhadapku. Aku yang dulunya sangat aktif di sekolah maupun asrama berubah menjadi anak yang pendiam dan agak malas dengan segala bentuk kegiatan Sekolah maupun Aktifitas rutin di asrama yang dulunya sangat aku sukai. Namun aku tetap berusaha menutupi semua masalah itu dari teman temanku dan pacarku.

Melihat sikapku yang berubah drastic seperti itu, teman temanku banyak yang bingung dan mengira aku sedang ada masalah keluarga. Begitu pula dengan pacarku Amel.


“Yang, sebenarnya kamu lagi ada masalah apa?” Tanya Amel padaku sehabis pulang sekolah.

“Aku tidak ada masalah apa apa koq” jawabku singkat sambil meraih tangan Amel dan menciumnya. Lalu aku menatap wajah Amel dalam dalam ingin meyakinkan dia bahwa aku memang tidak apa apa. Tetapi raut muka sedih di muka Amel membuat aku tertunduk dan tak kuasa untuk terus memandnginya.

“Ayo aku antar kamu pulang” kataku sambil berjalan menuju gerbang Asrama Putri. Amel tinggal di Asrama Putri yang terletak di belakang komplek gedung sekolah SMA. Kami masih satu bernaung di satu Yayasan pendidikan yang sama.
Sesampainya di depan asrama putri Amel berhenti sejenak. Dia memandangiku tajam dan mengatakan

“Aku sayang sama kamu, aku ingin juga merasakan duka yang kamu rasakan” kata amel sambil meneteskan airmata.

“Aku tidak apa apa yang, aku hanya lagi banyak pikiran saja” jawabku untuk meyakinkan Amel sambil mengusap airmata yang menetes di pipi kekasihku itu. Ingin rasanya aku memeluknya erat, tetapi aku takut ada orang yang melihat kami.

Sepulang dari Asrama Putri aku bertemu dengan Ronni di lorong sekolah.

“ Hi Patra, kamu habis mengantar Amel ya?” Tanya Ronni kepadaku

“Ya Ron, kenapa?” tanyaku kembali

“Ah Nggak, aku Cuma mau mengajak kalian jalan hari minggu ini. Itupun kalau kalian mau” kata si Ronni

“Emangnya mau jalan kemana?” tanyaku sambil tetap melangkahkan kaki menuju Asrama bersama Ronni.

“Ke Villa-nya Om ku yang di puncak” jawab Ronni. Aku dulu pernah kesana sama si Ronni dan teman teman sekamar lainnya tetapi waktu itu Villanya belum selesai di bangun.

“Emang Villanya sudah kelar, Ron” tanyaku sedikit kurang yakin karena terakhir kali kesana kami harus rela tiduran di bedeng bersama para pekerja bangunan.

“Sudah dong” jawab Ronni meyakinkan.

“Yakin, kita ga bakalan tidur di bedeng lagi? Apalagi kalau 
harus membawa cewek. Kan ga enak Ron” kataku sambil mengenang kumuhnya kondisi proyek pembangunan Villa Om-nya si Ronni.

“di jamin 100% Villanya sudah kelar dan sudah siap pakai pat. Tetapi kali ini kita tidak pake menginap, karena ga mungkin kan kita membawa teman cewek dari asrama terus menginap”  jawab si Ronni

“Iya juga sih, Entar deh aku tanya Amel dulu kalau dia mau ikut. Kamu sendiri ga ngajak Erna?” tanyaku kembali pada Ronni.

“Justru ini rencana aku sama Erna, Pat” jawab Ronni.

“OK deh kalau begitu. Ntar kalau Amel mau ikut aku info ke 
kamu. Thank you ya atas ajakannya” kataku.

Ronni adalah teman sekamar aku. Dia cukup dekat denganku. Apalagi kami juga masih satu kelas dan duduk sebangku. Dia anaknya baik, ganteng dan sangat manis untuk ukuran seorang cowok. Teman teman kami banyak yang suka memanggil dia Marcel. Karena wajahnya sedikit mirip dengan Penyanyi Marcel Siahaan yang duet dengan Shanty.

Hari minggupun tiba. Aku, Amel, Ronni, Erna, Joe dan Meisya berangkat ke puncak. (Puncak yang aku maksud disini bukanlah Puncak yang di Jakarta).

Sepanjang  perjalanan menuju puncak kami isi dengan bercanda riang, sambil sesekali melihat keindahan alam sekitar dari dalam kaca mobil. Aku seolah lupa akan semua masalah yang membelitku.
Benar sekali kata si Ronni. Villanya Om Wisnu sudah terlihat megah dan indah. Villanya terdiri dari bangunan dua lantai yang di design sangat minimalis dengan di dominasi oleh kaca. Mungkin maksud Om Wisnu adalah agar dia dan keluarga bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar Villa dari dari setiap sudut ruangan di Villa itu.

Saya sangat tertarik dengan design Landscape yang di ciptakan Om Wisnu. Taman di sekitar Villa di dominasi oleh pohon Palm dan Bonsai yang tertata dengan sangat rapi. Sungguh sebuah pemandangan yang menakjubkan.

Disisi kolam terdapat beberapa tanaman tanaman kecil warna warni untuk memeriahkan suasana pemandangan yang di dominasi oleh warna hijau.

Setelah beres beres barang bawaan kamipun semua bergegas menuju ke kolam renang untuk menyejukkan badan yang mulai berkeringat karena perjalanan yang cukup jauh. Apalagi mobil yang kami gunakan adalah mobil VW tua peninggalan almarhum Om Danu ayahnya Ronni.

Disaat teman teman sibuk bercengkerama di Kolam renang, saya memilih mengajak amel menuju ke kali yang terletak beberapa meter dari Villa. Persisnya di bawah pekarangan Villa.

Walaupun jalan untuk menuju kali tersebut cukup terjal dan curam, aku tetap membimbing Amel menuruni tebing menuju ke kali itu. Aku ingin sekali melihat reaksi Amel begitu dia menceburkan badannya di Air Kali yang jernih tersebut.

Sesampainya di bawah aku langsung menarik Amel dan menceburkannya di air kali dan benar sekali, dia langsung menggigil karena air kalinya memang benar benar dingin. Itu pula yang aku rasakan waktu pertama kali mandi bersama Ronni waktu terakhir kali kesana. Mandi dari sumber mata air pegunungan memang sangat menyejukkan.

Melihat Amel menggigil aku malah kegirangan dan tertawa sepuasnya. Tetapi sepertinya Amel malah kesel sama aku. Dia terlihat cemberut.

“Kamu jelek sekali kalau lagi cemberut begitu” kataku mendekatinya

“Biarin, Jelek jelek gini juga kamu suka koq sama aku” katanya sambil mencubit dadaku.

Melihat Amel manja seperti itu aku tiba tiba menjadi bernafsu. Aku meraih kedua tangannya dan melingkarkannya di badanku. Dia sama sekali tidak menolak. Lalu aku meraih wajahnya dan menatap mata indahnya sambil mendaratkan ciuman tepat di bibirnya yang merona. Bibir yang sangat lembut. Akupun tak ingin begitu saja melepas ciumanku. Aku malah bermain lebih berani dengan melumat lumat lidah amel. Diapun justru mulai member respon yang sama. Pelukan amel semakin kuat. Sepertinya dia sudah mulai terangsang.
Akupun lalu menyelipkan tanganku kebalik BRA amel dan meremas remas buah dada Amel yang cukup besar. Dia menggelinjang keenakan. Sesekali aku menggosokkan kuku tanganku ke puting susu amel. Dia mengerang keenakan dan tiba tiba dia menggigit bahuku. Aku malah semakin bernafsu.

Aku mulai membuka BH amel dan langsung membenamkan mukaku di antara kedua buah dada kekasihku itu. Buah dada yang sangat lembut. Akupun tak lupa menggesek putting susunya dengan gigiku yang memberikan sensasi luar biasa buat Amel. Dia kembali mengerang.

Amel sendiri mulai berani meraba raba celanaku dan meremas remas Kontolku yang sudah mengeras dan berontak ingin segera keluar dari celana dalamku yang ketat. Aku membantu memelorotkan celanaku sendiri. Lalu kembali menjilati badan kekasihku yang sudah setengah telanjang.

Satu tangan meremas susu lembut Amel dan satunya lagi berkelana menjelajahi bulu bulu halus yang menghiasi memek kekasihku.
Aku kemudian membaringkan Amel diatas sebuah batu besar dan langsung menjilati perut bagian bawah Amel. Dia kembali mendesah. Kuperhatikan lubang kenikmatan Amel yang berwarna pink. Awalnya aku hanya meremas remas kelentitnya tetapi nafsuku yang terlalu menggelora tak mampu menahan hasrat untuk memasukkan jari tanganku kedalam lubang memek kekasihku. Tapi Amel memberontak dia menatapku tajam dan berkata “Jangan kak!” katanya dengan sangat tiba tiba. Dia hampir mau menangis dan langsung bergegas naik ke atas menuju Villa.

Aku tak mampu menahannya. Aku hanya bengong. “Apa yang salah” pikirku. Nafsuku masih di ubun ubun. Akupun menyandarkan tubuhku diatas batu tempat kami tadi bercinta dan mengocok kontolku sampai aku mencapai Klimaks.

Aku masih terpekur seorang diri. Sambil membenamkan badanku di dalam air aku berfikir bagaimana caranya agar Amel tidak marah lagi terhadapku.

Dengan langkah gontai aku naik dan langsung mencari Amel untuk meminta Maaf.

“Ron, kamu lihat Amel ga?” tanyaku kepada Ronni yang lagi asyik berjemur

“Ga Pat, Bukannya dari tadi dia sama kamu?” tanyanya balik.
Aku tidak menjawab tetapi langsung bergegas kedalam Villa mencari Amel. Disana aku bertemu Erna yang baru keluar dari kamar mandi.

“Na, kamu ada liat Amel?” tanyaku sama Erna

“O iya tadi dia bilang sama aku mau balik duluan, katanya sih habis di telephone sama ibunya” jawab erna.

Aku menjadi panic. Lalu aku membereskan pakaianku dan bilang sama Erna kalau aku mau menyusul Amel.

Setelah hampir satu jam berada diatas motor ojek akhirnya aku sampai juga di depan rumah Amel. Tetapi aku tidak berani masuk. 

Aku kemudian mencoba menelpon adiknya Iqbal.

“Bal, Amel ada di rumah ga?” tanyaku sama Iqbal

“Ga ada Kak, Dia mungkin masih di asrama kata Iqbal lewat telephone.

“oh, Ok deh Bal. Makasih” Jawabku sambil menutup telephone

Sekarang aku benar benar bingung. Kalau sampai Amel langsung ke Asrama, pasti akan terjadi masalah. Karena pihak Asrama sangat melarang keras semua siswa siswi yang keluyuran sampai malam hari.

Dengan langkah gontai aku berjalan menuju Asrama. Begitu sampai di gerbang, aku melihat penjaga Asrama dan beberapa orang sedang berdiri disana. Diantaranya ada Pak Jaka kepala Asrama. “Mati aku” pikirku.

“Dari mana kamu?” Tanya Pak Jaka dengan nada kurang bersahabat

“Ga ada pak, tadi habis dari rumah teman” jawabku sambil menunduk
Sesekali aku memperhatikan tangan Pak Jaka yang memegang erat sebuah tongkat pendek dari rotan.

“Kami sudah tahu kalau kamu dan konco joncomu keluar Asrama tanpa izin dan membawa anak anak dari santri putri” kembali Pak Jaka membuat saya terperangah. Tidak mungkin ada orang yang tahu kami keluar asrama selain Aku sendiri, Amel, Ronni, Erna dan Joe.

“Bener pak, saya habis dari rumah teman” aku kembali berusaha mengkelit.

Diantara orang yang berkerumun disana aku melihat Ferdi tersenyum bahagia melihat aku di bentak oleh pak Jaka. Aku berfikir pasti ini semua adalah ulahnya.

“Sini tanganmu!” kembali Pak Jaka berteriak memintaku menghulurkan tangan. Aku tak sanggup menolaknya.

Lima puluh cambukan mendera kedua telapak tanganku sampai terasa seperti mau putus. Sakit sekali, tetapi aku tidak mau menunjukkan rasa sakit itu di depan orang orang yang menontonku. Apalagi di depan si bangsat ferdi.

“Bawa dia keluar!” kembali pak Jaka berteriak. “Apa maksudnya?” aku kebingungan.

Tiba tiba seorang Pengurus Asrama putrid membawa Amel menghadap ke Pak Jaka. Dan tanpa basa basi Pak Jaka meminta amel menyerahkan tanganyya untuk di cambuk.

Untuk pertama kalinya aku beranikan diri menatap mata Pak Jaka dan berteriak kepadanya “Pak, ini tidak ada hubungannya dengan Amel. Semua salahku sendiri. Jangan bapak sakiti Amel” Pintaku dengan nada keras sambil terus mempelototi muka sangar Pak Jaka.
Pak Jaka tidak menggubris ucapanku. Dia langsung melepaskan cambukkannya ke telapak tangan Amel. Ingin sekali aku merampas cambuk itu tetapi tanganku sudah tidak bisa di gerakkan lagi.
Melihat Amel meringis kesakitan, membuat aku tidak kuasa menahan diri untuk menendang Pak Jaka tetapi dia tidak terjatuh. Badannya terlalu besar. Kemarahan Pak Jaka semakin menjadi jadi. Dia meninju mukaku sampai aku tersungkur.

Lalu beberapa pengurus lain menahanku sambil terus mempertontokan kepadaku bagaimana Amel menangis tanpa suara menahan rasa sakit. Tiba tiba air mataku meleleh. Hatiku terasa sangat sakit, bahkan lebih sakit dari pada 50 cambukan yang di kenakan padaku.

Setelah hukuman selesai mereka membawa aku ke kamarku. Disana teman teman semua menatapku aneh. Aku hanya terdiam. Tak peduli kalau mereka juga marah atau benci padaku.
Setelah rebahan beberapa saat untuk mengurangi rasa sakit. Aku bangkit dan mengepak barangku. Aku sudah memutuskan untuk keluar dari Asrama.

Aku sudah tidak perduli orang tuaku akan berkata apa. Yang penting aku harus meninggalkan tempat itu.
Dengan kondisi badan yang masih lemah aku berjalan menuju dapur bekas yang ventilasinya terbuka sebagai akses aku melarikan diri. 

Aku tidak mungkin lewat gerbang, karena disana ada satpamnya.
Tembok dapur itu sebenarnya biasa aku lalui untuk keluar masuk Asrama secara diam diam. Tetapi karena kondisiku kedua tanganku yang mash sangat berat akibat di cambuk membuat aku kesulitan mencapai ujung tembok.

Disaat bingung mencari cara untuk bisa meloncati tembok, tiba tiba Kak Fandi datang.

“Kakak turut sedih atas apa yang kamu alami” katanya sambil mendekatiku. Aku memandanginya sebentar tapi tak menggubris ucapannya.

Aku kembali berusaha menggapai ujung tembok tapi terus saja gagal. Lagi lagi Kak Fandi mendekat.

“Mau aku bantu?” katanya sambil memandangiku
Aku kembali tidak menjawab dan terus berusaha untuk menggapai ujung tembok.

Kak Fandi tiba tiba memegang pinggangku dan mengangkatku. Aku sebenarnya merasa risih dan tidak suka dengan apa yang dia lakukan. Tetapi aku tidak punya pilihan. Aku akhirnya bisa mencapai ujung tembok dan sudah siap untuk turun. Masalahnya sekarang aku tidak mungkin meloncat dengan kondisi tubuh yang masih lemah. Apalagi temboknya cukup tinggi sekitar 2 meter.


Aku termenung sejenak, mengumpulkan kekuatan untuk bisa melompat. Tetapi Kak Fandi sudah keburu naik dan melompat duluan. Dia sekarang berdiri di bawahku untuk membantuku turun dari tembok.
Dia meluruskan badannya menghadap tembok dan memintaku berpijak di bahunya sebagai tangga. Awalnya aku tidak mau melakukannya tetapi karena aku tidak punya pilihan lain aku mengikutinya.
Setelah kakiku berpijak di pundaknya, Kak Fandi pelan pelan menurunkan badannya agar aku bisa turun dengan nyaman.Tetapi begitu kakiku hendak ku pijakkan ketanah aku tidak punya tempat berpegangan selain di pundak Kak Fandi. Dengan berat hati aku melakukannya. Saat itu aku kembali merasa aneh. Mencium aroma tubuh Kak Fandi mengingatkanku pada kejadian waktu itu.

Aku berusaha melawan perasaan itu. Dan berlalu dari Kak Fandi tanpa mengucapkan Terima Kasih.

“Aku harap kamu tidak benar benar berhenti dari sekolah ini” tiba tiba kata kata Kak Fandi itu menghentikan langkahku. Aku menoleh, Memandangi wajah Kak Fandi yang terlihat sedih. Entah kenapa rasa benciku kepadanya tiba tiba luntur.

Aku kembali mendekatinya, tertegun menatap wajahnya. Dia menepuk pundakku beberapa kali. Aku tak kuasa menahan diri untuk memeluknya. Erat sekali, sambil membisikkan kata “Terima Kasih”.

Aku tak ingin larut dalam dekapan itu. Aku melepaskan diri dan kembali menatap wajah Kak Fandi untuk terakhir kalinya sebelum pergi.

Bersambung Ke Hitam Putih Kehidupan 4| Hari Hari Di Luar Asrama Bagian 1



Related Artikel